Cerita Ngentot Memek Tembem Mbak Yety
Sebagai anak paling kecil dari tiga
bersaudara, sebenarnya aku tidak merasa mempunyai kekurangan apapun.
Jarak kelahiran yang agak jauh dari kakak-kakakku malah membuatku
mendapat limpahan kasih sayang dari keluarga. Tapi jalan hidup manusia
siapa yang tahu, kadang apapun yang terjadi pada diri kita, tak dapat
kita duga.
Semua berawal dari kakakku yang paling
besar, sebut saja mas Amran. Mas Amran semenjak SMP memang dikenal
playboy. Banyak wanita yang mudah dia pikat. Kelakuannya bahkan sering
memusingkan orang tuaku. Dulunya, ayahku bekerja di sebuah pabrik
tekstil. Tapi karena faktor kesehatan, beliau pensiun dini, lalu buka
warung kecil-kecilan depan rumah. Sedangkan ibuku seorang PNS. Usiaku
dengan kakak tertuaku terpaut sekitar 13 tahun. Kata ibu, kehamilanku
justru tidak disengaja. Tapi beliau menerimanya dengan gembira.
Saat lulus SMA, kakakku mengambil program
D3. Tapi kuliahnya baru berjalan kira-kira tiga bulan, dia harus
mempertanggung jawabkan perbuatanya karena telah menghamili anak gadis
orang. Padahal waktu itu usia kakakku baru sekitar 18 tahun. Orangtuaku
saat itu sangat terpukul, apalagi diketahui, kehamilan wanita itu telah
memasuki bulan keenam. Akhirnya mereka dinikahkan secara diam-diam.
Pernikahan mereka tidak berjalan lama, saat bayinya lahir dan baru
berusia sekitar lima bulan, mereka berpisah. Sejak itu, banyak sekali
wanita yang dibawa kakak ke rumah.
Kira-kira dua tahun kemudian, kakakku
kembali memutuskan menikahi seorang wanita yang usianya terpaut dua
tahun lebih tua darinya. Waktu itu kakakku baru diterima bekerja di
pabrik bekas ayah dulu bekerja. Orang tuaku tak bisa berbuat apa-apa.
Wanita yang dinikahi kakakku pun sudah bekerja di sebuah bank.
Pernikahan baru berjalan enam bulan, tetapi istri kakakku sudah
melahirkan. Awalnya kakakku yang nomer dua, perempuan, yang kadang suka
mengasuh anak kakakku. Tapi semenjak dia menikah dan diboyong suaminya,
akhirnya mereka menyuruh tetangga untuk mengasuh. Belum setahun usia
bayi, istri kakakku kembali hamil. Dan akhirnya dikarunia anak kembali.
Tapi kembali, pernikahan kakakku dilanda
masalah. Tabiat kakakku yang suka main perempuan dan seringnya dia
bekerja keluar kota, membuat istrinya tak tahan, dan akhirnya mereka
memutuskan berpisah. Belum setahun perceraian, kuketahui istri kakakku
sudah menikah lagi dengan teman sekantornya. Anak-anak sendiri karena
masih kecil, dibawa oleh istri kakakku.
Kembali kakakku suka membawa wanita ke
rumah. Warung ayah yang sudah tutup semenjak kakak keduaku menikah dan
seringnya dia hanya bisa berbaring di kamar serta ibuku yang bekerja,
membuat kakakku leluasa membawa wanita, apalgi di siang hari. Sesekali
aku suka memergoki kakakku berduaan di kamar belakang dengan wanita,
tapi sepertinya kakakku suka tak acuh. Malah dia suka memberiku uang
tutup mulut. Akupun menerimanya dengan senang hati.
Ya, aku memang termasuk anak yang polos
dulunya. Pergaulanku sendiri hanya sebatas teman-teman sekolah. Di
rumah, aku jarang sekali main karena ibuku selalu menyuruhku menjaga
ayah. Kadang aku merasa iri dengan kakakku yang sepertinya bebas
kemanapun dia mau. Akhirnya saat usiaku 13 tahun, waktu itu aku baru
masuk SMP, kembali kakakku menikahi seorang wanita. Tapi kali ini lain,
karena wanita ini berjilbab.
Pernikahan siri dilakukan kakakku,
berdasarkan kesepakatan keluarga. Wanita yang sebaya kakakku, sebut saja
mbak Yeti, bekerja sebagai pelayan sebuah toko baju. Kesehariannya
sangat ramah. Cara berpakaiannya pun sangat rapi dan sopan. Baju terusan
panjang dan jilbab lebar selalu membingkai tubuhnya yang menurutku agak
sedikit berisi, tapi menurut teman-teman ibu, bahkan sebagian teman
sekolahku yang kadang datang ke rumah, bilang bahwa kakak iparku itu
seksi.
Meski rumah kami agak jauh dari tetangga
lain, tetapi wanita yang dinikahi kakakku kali ini sesekali suka
mendapat pujian dari tetanggaku, terutama dari para lelaki muda. Malah
ada teman sekampungku yang bilang, kalau dia yang jadi adik iparnya,
pasti tiap hari akan mencoba ngintip kalau dia mandi, begitu candanya
kepadaku. Aku sendiri sama sekali tidak menggubrisnya. Tapi memang
setahun pertama pernikahan, kakakku sepertinya betah di rumah. Pulang
kerja pun tak pernah telat.
Ibuku sendiri merasa senang, meski mbak
Yeti bekerja, tapi dia selalu membantu menyiapkan makanan, bahkan
membersihkan rumah. Jika mbak Yeti masuk pagi, biasanya baru sore
harinya dia mencuci baju suaminya, bahkan kadang bajuku pun dia cuci.
Jika dia kerja siang, paginya selain mencuci, dia juga membantu
menyiapkan makanan. Hal itu membuat ibuku senang, kehadiran mbak Yeti
sungguh memperingan kerja rumah tangga ibuku.
Aku sendiri biasanya membantunya
menimbakan air jika dia hendak mencuci, ibuku yang menyuruhku, agar mbak
Yeti nggak kecapekan. Lama-lama, aku dan mbak Yeti memang jadi akrab.
Dia malah sering menyuruhku makan jika dia membuatkan sesuatu. Katanya
supaya tubuhku gagah kayak kakakku, tidak kurus seperti sekarang. Yah,
tubuhku memang agak kurus, apalagi tinggi badanku yang lumayan, membuat
aku kelihatan agak ringkih. Tapi aku sendiri tidak begitu peduli, toh
tidak kurus-kurus amat. Selain itu, tak jarang mbak Yeti memberiku uang
jajan.
Awalnya, kami berpikir kakakku sudah
berubah. Kehadiran mbak Yeti yang membuat dia betah di rumah,
menyenangkan hati ibuku. Bahkan jika kebetulan mbak Yeti libur, kakakku
sering datang siang hari, dan bersenda gurau di kamar dengan mbak Yeti.
Tingkah mbak Yeti pun suka aneh, biasanya jika mereka bedua, kulihat
cara bicara mbak Yeti suka berbeda, menjadi sedikit genit. Beda jika ada
ibuku.
Tapi ternyata waktu berkata lain. Setahun
lebih pernikahan mereka, kesibukan kakakku menjadikan dia kadang jarang
ada di rumah. Semenjak mendapat tugas pengawas pemasaran, kakakku jadi
makin sering keluar kota. Meski tidak mengganggu keharmonisan mereka,
tapi kadang hal itu membuat mbak Yeti jadi sering melamun.
Awalnya tidak begitu kelihatan, maklum
jika di depan semua orang, sepertinya tidak ada apa-apa. Tapi jika dia
sendirian, tak jarang aku memergokinya sedang melamun. Bahkan sesekali
sering aku mendengar keluhannya, walau awalnya aku tidak mengerti, saat
dia sedang berdua dengan kakakku, ”Mas, jangan capek terus dong.”
katanya. Dan ditanggapi kakakku dengan lenguhan lesu. Semenjak itu, mbak
Yeti seperti mencari kesibukan juga. Dia kadang mengambil lembur.
Dan kemudian, siang itu, awal dari makin
dekatnya hubunganku dengan mbak Yeti… Siang itu, hari begitu panas. Aku
sebenarnya baru pulang dari sekolah dan sedang makan, tapi karena udara
panas, aku memutuskan untuk mandi. Aku lihat bak mandi kosong, akhirnya
aku yang sudah tak berpakaian, menimba air. Sedang asyik menimba,
tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Aku sendiri tidak begitu kaget saat
kemudian mbak Yeti nongol dan tersenyum.
“Maaf, kirain nggak ada orang.” katanya.
Aku tidak merasa malu dan biasa saja, bahkan saat mata mbak Yeti terus
memandang kelaminku.
”Mbak mau apa?” kataku, sambil kemudian
aku perlahan mengambil handuk yang mengantung tak jauh dariku, dan
melilitkannya ke pinggang.
“Mbak nggak kuat, sakit perut!” katanya.
“Ya udah, mbak dulu aja.” kataku. Aku pun kemudian keluar.
Setelah itu, tak ada hal yang luar biasa, hanya kulihat mbak Yeti selalu tersenyum ke arahku. “Mbak kok pulang cepat?” kataku.
“Iya, minta ijin, nggak enak badan.” katanya.
Setelah itu, aku langsung masuk kamar, mengerjakan tugas-tugas sekolah. Bahkan ketika ibu pulang, aku masih asyik di kamar.
Besoknya, saat pulang kerja, mbak Yeti mengetuk pintu kamarku. ”Mbak bawa martabak,” katanya.
Aku langsung keluar, hari sekitar jam
tiga sore, kulihat mbak Yeti membawa martabak ke kamar depan, ”Biasa,
ayah lagi baca di kasurnya.” kata mbak Yeti tanpa ditanya. “Dari kemarin
panas aja ya?” tambahnya lagi.
“Iya, mbak, padahal tadi aku sudah mandi, tapi tetep keringetan.” kataku.
”Jadi tadi nimbanya bugil lagi?” kata mbak Yeti, aku hanya nyengir. “Kamu nggak malu ya kepergok mbak?” tanyanya lagi.
“Nggak sadar, mbak. Tapi nggak apa-apa, mbak kan bukan orang lain.” kataku polos.
Tiba-tiba tangan mbak Yeti mengusap-usap pundakku. “Mbak juga mau mandi, baknya penuh nggak?” katanya.
”Tadi sih masih setengah. Nggak apa-apa, nanti aku isi.” jawabku sambil makan martabak.
”Ya udah, makan dulu aja.” katanya,
kemudian dia masuk ke kamarnya. Tak lama dia keluar. Saat itu kulihat
dia berpakaian daster dengan belahan sangat rendah. Bisa kulihat
tonjolan payudaranya yang besar dan montok. Di tangannya ada handuk, BH,
jilbab, dan celana dalam. Dia kemudian duduk di sampingku. “Duh, panas
ya?” katanya sambil mengipas-ngipaskan tangan.
Ini baru pertama kalinya aku melihat dia
berpakaian seperti itu, biasanya dia memakai baju panjang dan jilbab
yang sangat sopan, tapi semua itu sama sekali tak mempengaruhiku. Dasar
aku masih sangat polos. Bahkan saat kemudian dia mengajakku bicara
dengan sedikit lain dari biasa, agak genit dan banyak usapan mesra di
pahaku, aku tetap tak bereaksi.
Sejak itu, tingkah mbak Yeti menjadi agak
berbeda, terutama jika kami sedang berdua. Tak jarang dia mengelus
kepalaku, bahkan pahaku saat bercanda. Awalnya aku agak risih, tapi
kemudian aku acuhkan. Saat itu, aku sama sekali tak mengerti, bahkan
ketika dia menanyakan sesuatu yang berbau dewasa, aku menjawabnya dengan
polos.
“Kamu punya pacar belum?” katanya.
“Belum, mbak.” jawabku.
”Tapi udah mimpi kan?” katanya lagi.
Aku mengangguk.
”Pertama kali kapan mimpinya?”
”Awal kelas dua kemarin, mbak.” aku menjawab.
“Mimpinya sama siapa hayo, pasti cewek ya?” katanya.
“Nggak tahu, mbak. Sudah lupa.” kataku.
“Enak nggak mimpinya?” katanya.
“Nggak tahu, mbak, lupa. Tahu-tahu sudah basah aja.” kataku.
Yah, kadang mbak Yeti menanyakan hal-hal
sensitif, tapi aku merasa biasa aja, walau kadang kulihat dia cekikikan
sendiri mendengar jawaban polosku. Lama-lama, kulihat mbak Yeti pun
makin tidak malu dihadapanku. Aku jadi sering melihatnya keluar kamar
mandi hanya mengenakan handuk sedada, membiarkan paha mulusnya
kemana-mana. Bahkan sepertinya dia sengaja melakukan itu, walau
seringnya aku sendiri tak begitu memperhatikannya.
Dan siang itu, saat dia terus
memperhatikanku, aku menganggapnya biasa. ”Mbak lihat kamu garuk-garuk
burungmu terus, kenapa, gatal?” tanyanya saat aku hendak ke kamar mandi.
“Iya, mbak, numbuhnya makin banyak.”
kataku tanpa sungkan, karena dia pernah menyinggungnya, dan saat itu aku
bilang: ”Kata temanku cukur aja supaya nggak gatal,” tapi mbak Yeti
bilang: ”Jangan, bisa makin gatal.”
”Cukur aja kali ya, mbak?” kataku.
“Ya udah, tapi biasanya makin gatal. Nanti mbak beliin bedak.” katanya.
Aku kemudian kencing. Selesai kencing,
kulihat mbak Yeti keluar dari kamarnya. ”Nih, kalau mau cukuran, make
ini aja. Tapi jangan bilang-bilang kakak kamu kalo alat cukurnya dipake
buat nyukur bulu titit.” katanya cekikikan.
”Iya, mbak.” aku ikut tersenyum.
”Nanti alatnya bersihin lagi ya, supaya
nggak ketahuan kalo habis dipake.” katanya, aku mengangguk. ”Hati hati
luka, atau mau mbak yang cukurin?” katanya senyum-senyum.
“Nggak, mbak, malu. Biar aku aja nanti.” kataku menolak.
”Ya udah, cepat sekarang aja, mumpung kakakmu belum pulang.” kata mbak Yeti.
Aku kemudian ke kamarku sambil membawa
handuk. Duduk di ranjang, mulai kucukur bulu kelaminku. Setelah selesai,
aku kemudian mandi. Tapi benar, kurasakan rasa gatalnya tidak hilang,
malah semakin terasa. Dan kulihat, aku tidak bisa mencukur bersih. Saat
keluar kamar mandi, kulihat mbak Yeti sudah ada di dekat pintu. Baju
gamisnya sudah berganti dengan daster berbelahan rendah. Jilbabnya juga
sudah dia lepas, memperlihatkan rambut lurusnya yang panjang sepunggung.
“Sudah?” tanyanya, aku mengangguk. ”Kok cepat? Masih gatal nggak?” katanya.
“Iya, mbak. Gimana ya, mbak?” kataku.
Tangannya kemudian mengusap pundakku.
”Apa kata mbak, mending didiemin aja.” katanya. ”Mau dikurangi nggak
supaya nggak gatal amat?” tawarnya. Aku mengangguk. ”Tapi janji jangan
bilang siapa-siapa, termasuk ibu dan kakakmu.” bisiknya. Aku mengangguk
lagi.
”Sini,” dia menarik tanganku, kemudian kami berdiri di balik pintu kamar mandi. “Kamu merem. Awas, jangan ngelihat!” katanya.
Aku yang waktu itu masih handukan
menuruti apa katanya. Tiba-tiba kurasakan tubuhnya merapat ke tubuhku.
Satu tangannya kurasakan mulai meraba kelaminku. Aku hanya diam saat
kemudian kurasakan tangannya masuk ke dalam handukku. Sesaat kemudian,
kurasakan kontolku menempel pada benda berbulu. ”Mbak,” kataku mulai tak
tenang.
“Nggak apa-apa, diam aja. Nanti nggak
gatel lagi, kamu pasti suka.” katanya. Perlahan kurasakan ujung kontolku
digosok-gosokkan ke benda berbulu itu. Ada geli kurasakan, selain rasa
hangat yang mulai menjalar cepat di batang kontolku, yang akhirnya
membuatnya bangun dan menegang.
”Mbak, geli ah!” kataku parau. Mataku masih tetap merem.
”Nggak apa-apa, bentar lagi juga enggak.” katanya.
Aku tak berani melihat, walau saat itu
sebenarnya aku tak begitu memejamkan mata. Wajahku ada di pundak mbak
Yeti. Bisa kucium wangi keringat di lehernya, membuat kontolku makin
mengeras dan menegang. Dan saat sudah benar-benar terbangun, kurasakan
mbak Yeti makin menekan kontolku, melewati ruang hangat yang sempit dan
lembab.
”Mbak, sudah ah, jangan!” kataku gugup.
Dalam hati aku ingin mencegah, tapi kenikmatan yang kurasakan di ujung
kontolku membuatku membatalkannya.
“Nggak apa-apa, tenang aja. Nanti gatalnya hilang sendiri.” katanya membujuk.
Sebenarnya rasa gatal sudah tak kuingat
lagi, aku hanya merasakan nikmat yang menjalar di sekujur tubuhku,
apalagi saat kontolku makin dalam masuk ke lubang hangat itu. Aku makin
melayang. Saat itulah, tiba-tiba kurasakan pantat mbak Yeti bergerak
pelan, memompa maju-mundur, membuat kontolku menggesek lubang sempit
itu. Nikmat. Nikmat sekali kurasakan.
”Mbak ngapain?” tanyaku tak mengerti.
“Nggak apa-apa, tenang aja. Kamu agak
turun.” katanya sambil menekan pundakku, aku pun sedikit menurunkan
kakiku. Kini posisi kami benar-benar pas. Kontolku masuk sempurna di
lubang sempit itu. Rasa geli makin menjalar di sekujur tubuhku saat
kontolku menggesek dinding-dinding basah yang melingkupinya. Nikmat yang
baru pertama kali kurasakan setelah 13 tahun lahir di dunia ini. Sampai
akhirnya, aku merasa tak kuasa…
”Mbak, rasanya aku ada yang mau keluar.” kataku berbisik.
“Keluarin aja,” katanya sambil terus menggerakkan pinggulnya, menyetubuhiku.
Dan ahh.. ahh… ahh… kudekap tubuh montok
mbak Yeti erat-erat saat cairanku membanjir keluar. Rasa nikmatnya
seperti mimpi basah, tapi yang ini lebih enak karena benar-benar nyata.
”Kamu merem terus ya tadi?” kata mbak
Yeti, kurasakan kontolku ia lepas da dilap dengan ujung daster. Aku
mengangguk. ”Sudah,” katanya. Ia meraih handukku dan melingkarkannya
lagi ke pinggangku. “Gimana, ilang nggak gatalnya?” ia bertanya. Aku
mengangguk. ”Ingat, jangan bilang siapa-siapa ya?” bisiknya. Aku
mengangguk lagi. Entah kenapa, aku kesulitan untuk menanggapi
pertanyaannya.
Aku kemudian kembali ke kamarku. Saat
selesai berpakaian, kulihat mbak Yeti masih ada di kamar mandi. Aku
kemudian makan. Saat makan, mbak Yeti yang baru selesai mandi, tersenyum
ke arahku. Seperti biasa, dia cuma menutupi tubuh moleknya dengan
handuk. Sambil mengunyah, kupandangi pahanya yang putih mulus saat dia
berlalu ke kamar. Selesai makan, mbak Yeti sudah berpakaian rapi dengan
baju panjang dan jilbab lebar. Dia menghampiriku.
”Masih gatal?” tanyanya ramah.
”Sedikit, mbak.” kataku. “Mbak tadi ngapain sih?” aku bertanya. Entah, saat itu aku tak tahu mau bicara apa.
”Enak nggak?” bukannya menjawab, dia malah balik bertanya.
Aku mengangguk. “Mbak masukin burungku ke anunya mbak ya?” tebakku tak percaya.
”Iya, jangan bilang siapa-siapa ya?” dia
tersenyum. Aku mengangguk mengiyakan. Siapa juga yang bakal
bilang-bilang? Kemudian tangannya meraba boxerku. ”Coba lihat,” katanya.
Dan entah kenapa, aku hanya diam saja, tidak protes. Mungkin karena
teringat rasa nikmat tadi.
”Pantes, kamu nyukurnya nggak rapi.” katanya.
”Iya, mbak. Tapi nggak apa-apa. Nanti bisa dirapiin.” kututup lagi celanaku.
”Mbak mau lho bantu ngerapiin.” dia
tertawa genit sebelum berlalu dari ruang makan. Aku hanya diam saja dan
segera membawa piring kotorku ke belakang untuk dicuci.
Peristiwa itu terus aku ingat, bahkan
sampai ibu pulangpun, aku masih melamunkan kejadian tadi. Dan esoknya,
aku bahkan ingin cepat-cepat pulang, walau aku tahu mbak Yeti masih
bekerja. Jantungku berdegup kencang ketika jam menunjukan sekitar pukul
dua siang. Aku terus melihat ke jendela, bahkan ketika sosok mbak Yeti
terlihat dari jauh, jantungku makin berdegup tak karuan. Ketika kudengar
pintu depan dibuka, aku malah masuk ke kamarku.
“Kamu sudah makan?” tanyanya saat
melintas di depan kamarku. Aku mengangguk, pura-pura membaca buku. Dia
kemudian berlalu ke belakang. Entah apa yang ada di pikiranku saat itu,
aku akhirnya keluar dan menunggunya di meja makan. Tak lama, dia muncul.
“Mbak nggak makan?” kataku saat kulihat dia minum dan hendak masuk kamar lagi.
”Tadi sudah makan bakso, masih kenyang.” katanya.
Aku tak tahu harus berkata apa lagi, jadi
kubiarkan mbak Yeti masuk ke kamarnya. Aku terus duduk menunggunya
keluar, saat itu, entah kenapa, kurasakan kontolku bergerak dan
perlahan-lahan mulai menegang dan mengeras. Saat sudah ngaceng maksimal,
pintu kamar mbak Yeti terbuka. Aku melihat ke arahnya, tersenyum.
”Lagi apa, kok masih disana?” kata mbak
Yeti curiga. Dia sudah berganti pakaian, tapi masih tetap baju terusan
panjang dan jilbab lebar.
“Nggak, mbak. Ini…” jawabku bingung. ”Kenapa burungku gatal terus ya, mbak?”
Mbak Yeti tersenyum, kemudian
menghampiriku. Dia melotot melihat celanaku yang sedikit mumbul.
Perlahan dia meraba dan senyumnya menjadi makin lebar. ”Mau kayak
kemarin nggak?” katanya menggoda, aku mengangguk cepat.
”Di kamar mbak aja yuk.” dia mengajak.
Aku mengangguk lagi. Segera kuikuti langkahnya. Sampai di kamar, mbak
Yeti menyuruhku berbaring, aku menurut. Perlahan dia menarik celanaku
dan tersenyum. ”Ih, kok sudah bangun sih?” katanya gemas.
“Nggak tahu, mbak.” jawabku malu. Aku
sempat merasa kaget saat kemudian tanpa malu, mbak Yeti membuka satu
persatu pakaiannya, termasuk juga jilbab putih yang ia kenakan. Kulihat
payudaranya yang besar dan bulat menggantung indah di depan dadanya.
Warnanya putih dan mulus sekali. Ada banyak urat-urat halus kehijauan di
sekujur permukaannya. Tapi yang membuatku tak berkedip adalah tonjolan
puting di puncaknya yang berwarna merah kecoklatan. Benda itu tampak
mungil dan menggemaskan sekali.
Kemudian kualihkan pandanganku ke
kumpulan rambut hitam di bawah pusarnya. Terlihat cukup lebat dan
panjang. Sepasang pahanya juga tampak mulus menggiurkan. Ditambah
bulatan bokong yang padat dan mengkal, jadilah dia sangat sempurna
sekali di mataku. Mbak Yeti kemudian berbaring di sampingku.
”Ayo naik, tempelin tititmu di itunya
mbak.” bisiknya di telingaku. Aku pun naik ke atas tubuhnya. Kutindih
dia dan kupeluk erat. Mbak Yeti membalas dengan merangkul tubuh kurusku
tak kalah erat. Jantungku bergejolak saat kontolku perlahan menempel di
depan liang vaginanya. Mbak Yeti sudah membuka kakinya sekarang hingga
aku bisa melakukannya dengan mudah. Kudiamkan sebentar, kubiarkan alat
kelamin kami saling menempel dan menyapa. Saat itu mbak Yeti
menekan-nekan payudaranya di dadaku, memintaku untuk memegang dan
meremasnya.
”Kontolmu gede ya?” bisiknya saat
tanganku mulai meraba dan mengelusnya pelan. Kurasakan betapa empuk dan
halus permukaannya. Putingnya yang terasa mengganjal di sela-sela
jariku, kujepit dan kupilin-pilin ringan. Mbak Yeti tersenyum
melihatnya.
”Mbak, masukin ya?” kataku sambil
mengecup pipinya. Dia menganguk dan kemudian meraba kontolku. Dengan
bantuan tangannya, perlahan kontolku mulai masuk ke ruang hangat dan
sempit yang sejak tadi aku inginkan.
”Nah, gerakin naik-turun.” katanya saat
batangku sudah terbenam total di dalam lubang memeknya. Aku menurut,
sambil terus meremas-remas bulatan payudaranya, perlahan aku mulai
menggerakkan pantatku, mengikuti arahan tangannya yang ada di
pinggangku. Rasa nikmat menjalar di seluruh tubuhku saat alat kelamin
kami saling bertemu dan bergesekan. Ironisnya, nikmat itu kudapatkan
dari wanita yang seharusnya menjadi milik kakakku.
Di atas ranjangnya, kudapati kenikmatan
yang luar biasa saat kontolku mulai bergerak cepat di atas memek tembem
mbak Yeti. Nikmat yang selalu terbayang di kepalaku ketika aku melihat
tubuh mulusnya sehabis mandi. Mbak Yeti pun seakan tak mau hanya pasrah
menerima sodokan-sodokanku, perlahan mulutnya mulai menghisap tetekku,
memberi kenikmatan lain yang menjadikanku semakin tak peduli bahwa aku
telah merasakan kenikmatan terlarang dari seorang wanita yang bukan
milikku.
”Mbak, enak, mbak!” kataku lirih.
”Masukin yang dalem!” sahutnya parau. Dan
saat aku melakukannya, ”oh… ya, begitu! Terus, ohh… terus!” mbak Yeti
makin mendesah keenakan.
”Begini ya, mbak?” kataku sambil mencium bibirnya dan melumatnya pelan.
“Iya, kontolmu enak! Terus, ohh…” kata mbak Yeti gelagapan.
”Mbak, ohh… mbak, ahh… ahh…” akhirnya aku
tak kuasa menahan desakan air maniku. Sambil menekan batang penisku
dalam-dalam, kubiarkan cairan putih lengket itu keluar di lubang
kemaluan kakak iparku. Setelah satu menit, perlahan aku terkulai di atas
tubuh mulus mbak Yeti.
”Mbak, enak, mbak.” bisikku pelan.
”Mau lagi?” sahutnya nakal.
”Istirahat dulu, mbak.” kataku sambil
mencabut penis. Kuperhatikan lelehan spermaku yang merembes keluar dari
celah vagina mbak Yeti. Dia mengelapnya dengan tisu yang ada di atas
meja.
”Ambilkan mbak minum ya? Haus nih.” dia meminta.
Setelah meremas-remas payudaranya
sebentar, aku pun keluar menuju dapur. Tubuhku tetap telanjang.
Kubawakan mbak Yeti segelas air dingin. Dia hanya tersenyum-senyum saat
menerimanya. Setelah menghabiskan isi gelasnya, dia menghampiriku di
tepi ranjang. ”Bentar lagi ibu pulang.” bisiknya penuh arti.
“Iya, mbak, gimana nih?” kataku. ”Aku kan masih pingin,”
Mbak Yeti mengelus-elus penisku sebentar
sebelum akhirnya bangkit dan mengunci pintu depan, dengan harapan saat
ibu pulang nanti tidak langsung bisa masuk. Kami sepakat main lagi di
kamarku. Segera, beriringan kami berpindah kamar. Tubuh kami masih
sama-sama telanjang. Saat sampai di kamarku, mbak Yeti menyuruhku duduk
di kasur, sedang dia jongkok di lantai di depanku. Mbak Yeti langsung
mengulum dan menghisap batang kontolku. Kurasakan nikmat yang luar biasa
saat dia melakukan itu.
”Mbak, cepet, masukin sekarang ( Ke Memek Tembem nya ). Nanti keburu ibu pulang.” kataku tak kuasa.
“Sabar dong,” katanya genit.
Hari itu, akhirnya dua kali aku mengenjot
tubuh sintal mbak Yeti. Dan itu bukanlah terakhir kalinya. Karena
setelah itu, kami sering mengulanginya lagi. Bahkan diawal-awal
bersetubuh dengan mbak Yeti, hampir tiap hari aku berusaha menggaulinya.
Mbak Yeti dengan Memek Tembem Nya menerimanya dengan suka cita. Ketidakhadiran kakakku
menjadi hal yang tidak mengganggunya lagi, karena kini dia bisa
mendapatkan kenikmatan yang sama dari saudaranya, yaitu aku.
Perlahan aku pun dapat mengerti kenapa
kakakku sangat suka main perempuan, ternyata kenikmatan ragawi memang
telah membelenggu kakakku, dan sepertinya telah membelengguku pula. Saat
itu, usiaku belum genap 15 tahun, tapi aku sudah merasakan kenikmatan
seorang wanita.
Hubungan terlarang kami berlangsung cukup
lama, sekitar dua tahun, sebelum akhirnya kakakku memutuskan bercerai
dengan mbak Yeti. Meski mbak Yeti memberiku kebebasan untuk menemuinya,
tapi aku tak berani, takut dicurigai. Untungnya, aku bertemu dengan
wanita-wanita yang nakal bahkan kesepian. Selain mencari kenikmatan dari
teman wanita di sekolahku, sesekali akupun mencari kenikmatan dari
tante-tante kesepian yang kebetulan aku jumpai. Dan kamu tahu, aku lebih
suka yang berjilbab, ada kebanggaan tersendiri kalau bisa membawa
mereka ke tempat tidur.